BREAKING NEWS

10/recent/ticker-posts

Right Button

test banner SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MEDIAONLINE "KOPI PAIK"

JARINGAN TAMBANG EMAS ILEGAL DI SUMBAR TERKUAK, ALIRAN SETORAN, KERUSAKAN HUTAN, DAN NYAWA YANG MELAYANG

 


Sumatera Barat sedang menghadapi krisis lingkungan yang tidak berdiri sendiri. Kerusakan hutan, sungai yang tercemar, hingga korban jiwa, terhubung dalam satu mata rantai panjang aktivitas tambang emas ilegal (PETI) yang beroperasi lintas kabupaten dan disebut-sebut dibekingi aparat.


Dalam sidang kode etik terkait Dadang Iskandar, terungkap adanya aliran dana rutin dari tambang ilegal kepada sejumlah perwira kepolisian. Salah satu nama yang muncul adalah Kapolres Solok Selatan saat itu, AKBP Arief Mukti, yang disebut menerima setoran Rp600 juta per bulan sejak 2022. Jika dihitung selama 28 bulan masa jabatannya, total aliran dana mencapai Rp16,2 miliar.


Pengakuan lain datang dari seorang warga yang menyebut adanya setoran Rp10 juta per bulan untuk setiap unit ekskavator yang beroperasi, yang disalurkan kepada oknum di Polres Solok Selatan. Dalam pengakuan tersebut, nama anggota DPRD Solok Selatan bernama Syafril dan seorang pensiunan polisi bernama Zul disebut sebagai pemilik ekskavator yang digunakan dalam kegiatan tambang ilegal.


Kerusakan lingkungan akibat aktivitas ini terlihat jelas. Di Kabupaten Sijunjung, tambang emas ilegal ditemukan di Sungai Palangki, hanya berjarak ratusan meter dari belakang Kantor Bupati Sijunjung. Aktivitas di kawasan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga menyimpan catatan kelam: pada 2015, tambang di sekitar lokasi tersebut pernah menewaskan empat pekerja.


Data menunjukkan praktik serupa tidak hanya terjadi di Solok Selatan. Aktivitas tambang emas ilegal juga ditemukan di Kabupaten Dharmasraya, Sijunjung, Solok, Pasaman, dan Pasaman Barat. Total luas kerusakan akibat tambang ilegal di wilayah-wilayah ini diperkirakan mencapai sekitar 10.000 hektare. Dampaknya meluas, mulai dari rusaknya ekosistem hutan, hancurnya daerah aliran sungai, hingga pencemaran air yang membahayakan kesehatan masyarakat dan meningkatkan risiko banjir bandang serta longsor.


Investigasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2019 menyimpulkan bahwa praktik tambang emas ilegal di Solok Selatan bukan semata soal keserakahan individu. Ada jalinan relasi antara penambang, pejabat politik, dan oknum penegak hukum yang membuat aktivitas ini bertahan lama dan sulit disentuh.


Rantai persoalan ini mencapai titik paling tragis pada 2024. AKP Ryanto Ulil Anshar, Kasatreskrim Polres Solok Selatan, tewas ditembak oleh rekan sesama polisi setelah mengamankan pelaku tambang ilegal. Ryanto ditembak di bagian kepala oleh Dadang Iskandar, yang saat itu menjabat sebagai Kabag Ops Polres Solok Selatan. Peristiwa ini disebut dipicu kemarahan Dadang karena salah satu rekannya ditangkap Ryanto dalam kasus tambang ilegal.


Nama lain yang ikut terseret dalam pusaran isu ini adalah Khairunas, Bupati Solok Selatan. Ia disebut-sebut sebagai pihak yang menghubungkan para penambang dengan aparat kepolisian. Namun, tudingan tersebut telah dibantah keras oleh pihak-pihak yang disebutkan.


Di tengah saling bantah dan proses hukum yang berjalan, satu hal tidak terbantahkan: hutan Sumatera Barat telah terlanjur rusak, sungai-sungai tercemar, dan nyawa manusia telah menjadi korban. Kasus ini bukan hanya ujian penegakan hukum, tetapi juga cermin seberapa serius negara melindungi lingkungan dan warganya dari kejahatan yang terorganisir dan berlapis kekuasaan.*"

Posting Komentar

0 Komentar