BREAKING NEWS

10/recent/ticker-posts

Right Button

test banner SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MEDIAONLINE "KOPI PAIK"

Rumah Digeledah, Riau Kembali Terluka



Riau seakan tidak pernah benar-benar sembuh. Ketika publik berharap pergantian pemimpin membawa udara segar, yang datang justru aroma penggeledahan. Senin, 15 Desember 2025, rumah pribadi dan rumah dinas Plt Gubernur Riau, SF Hariyanto, digeledah KPK. Uang tunai, dokumen proyek, dan berbagai mata uang asing disita. Bagi warga Riau, ini bukan sekadar kabar hukum—ini luka lama yang kembali menganga.


Uang Tunai dan Watak Kekuasaan


Pejabat publik hidup dari gaji negara. Maka wajar publik bertanya: mengapa uang tunai menumpuk di rumah kekuasaan? Lebih janggal lagi, uang itu tersimpan dalam rupiah, dolar AS, hingga dolar Singapura. Ini bukan sekadar soal nominal yang belum diumumkan, tapi soal watak kekuasaan yang merasa aman menyimpan harta di balik dinding rumah dinas.


Dalam logika rakyat kecil, uang tunai sebanyak itu adalah hasil bertahun-tahun kerja keras. Dalam logika birokrasi yang sakit, uang tunai adalah jejak paling telanjang dari fee proyek.


Infrastruktur: Nama Indah, Praktik Busuk


Setiap kali kasus korupsi Riau terbongkar, satu sektor hampir selalu muncul: infrastruktur. Jalan, jembatan, dan bangunan publik berulang kali menjadi ladang basah elite. Sementara rakyat melewati jalan berlubang dan jembatan reyot, sebagian pejabat justru diduga menghitung fee di ruang tamu rumah dinas.


Ironi ini menyakitkan: pembangunan dijual atas nama rakyat, tetapi hasilnya dinikmati segelintir orang.


Plt yang Gagal Jadi Penjaga Moral


SF Hariyanto bukan pemimpin hasil pemilihan rakyat, melainkan penjabat sementara. Justru karena itu, semestinya ia berdiri sebagai penjaga moral, penahan laju kebusukan birokrasi. Namun penggeledahan ini menimbulkan satu kesan pahit: bahkan pemimpin sementara pun tak kebal dari godaan kekuasaan.


Riau seperti terjebak dalam siklus memalukan—pemimpin jatuh karena kasus, diganti, lalu penggantinya menyusul dalam pusaran yang sama. Bukan pergantian sistem, hanya pergantian nama di papan kekuasaan.


Diam yang Terlalu Nyaring


Hingga kini, publik menunggu suara. Bukan klarifikasi normatif, bukan pernyataan normatif penuh basa-basi, tetapi penjelasan jujur. Sayangnya, yang terdengar justru sunyi. Dalam dunia politik, diam sering kali lebih nyaring dari pengakuan.


Kepercayaan publik tidak runtuh karena satu penggeledahan. Ia runtuh karena penggeledahan yang terus berulang.


Jangan Berhenti di Pintu Gerbang


KPK telah membuka pintu. Tetapi sejarah mengajarkan, membuka pintu saja tidak cukup. Publik menuntut KPK masuk lebih dalam, membongkar jejaring, menelusuri aliran dana, dan menyebut nama-nama yang selama ini bersembunyi di balik proyek dan jabatan.


Jika kasus ini berhenti di penggeledahan, maka rakyat kembali menjadi penonton dari sandiwara lama. Namun jika KPK berani menuntaskannya, ini bisa menjadi titik balik terakhir sebelum Riau benar-benar tenggelam dalam korupsi yang diwariskan dari generasi ke generasi.


Rumah boleh digeledah. Yang lebih penting, mental kekuasaan harus dibongkar habis.

Posting Komentar

0 Komentar